Sejak kecil aku selalu punya mimpi yang paling hebat: melihat dunia
luar. Beranjak masuk SMP aku semakin yakin kalau mimpi itu bisa
diwijudkan dengan punya nilai-nilai bagus dan punya dukungan dari orang
tua dan guru-guru. Jadi mulailah aku kembangkan mimpi itu, sampai-sampai
kalau ditanya orang negeri apa yang akan aku kunjungi pertama kali maka
aku akan menjawab dengan manis: Jepang dan UK. Nah aku pasti langsung
kebingungan ketika ditanyakan apa alasanku untuk mengunjungi kedua
negara tersebut. Aku cuma bisa bilang begini: Mau pegang salju (ga make
sense bangets ya?). Dan aku pun mulai tergila-gila dengan bahasa Inggris
yang awalnya sama sekali tidak aku sukai.
Masuk SMU maka aku mulai punya tujuan ke luar negeri: jalan-jalan dan
belajar budaya asing. Masih belum terbayang di dalam pikiranku apakah
aku bisa segera ke sana. Masalah terbesar adalah orang tuaku sangat
strict untuk alasan keluar rumah kecuali untuk sekolah. Tetapi aku
selalu berharap agar peraturan papaku akan segera berubah ketika aku
masuk PTN. Malangnya, peraturan tersebut semakin ketat, malah aku
terancam untuk ke Medan dan keliling Aceh. Sejujurnya, Banda Aceh pun
aku tak tahu semua seluk-beluknya. Tetapi dengan bangga selalu menjawab
dengan “aku ini orang Banda Aceh asli lho!”. Singkat cerita aku semakin
yakin kalau aku yang tidak pintar ini bisa ke luar negeri dengan
gampang. Aku selalu berpartipasi dalam English Club, program pertukaran
pemuda (walaupun selalu gatot: gagal total) dan berlangganan majalah
yang berbahasa Inggris. Aku tetap percaya diri kalau aku memang bisa
(maksa bangets ya?) walaupun belum ada tanda-tanda bahwa mimpi itu akan
bisa terwujud.
Bukti-bukti itu muncul tak lama setelah tsunami 2004, aku terlibat
sebagai volunteer di rumah sakit pemerintah di Banda Aceh. Dengan bermodalkan
beberapa pasang pakaian layak (aku jatuh miskin karena seisi rumahku
dipinjam oleh tsunami) yang diberikan oleh temanku maka aku pun
melangkah ke rumah sakit tersebut dengan niat menolong korban tsunami yang
nasibnya jauh lebih tidak seberuntung aku. JobDes aku menerjemahkan dari
English ke Indonesian dan Acehnese. Awalnya sempat kagok karena bahasa
Acehku sedikit kurang gaul dibandingkan dengan pasien-pasien pasca
operasi tersebut. Tetapi aku selalu berusaha memberikan yang terbaik
alias pede ajah. Ketika itu teman-teman mahasiswa keperawatan Universitas Syiah Kuala
diminta tolong oleh dosen-dosen kami untuk membantu para tentara
Australia, UK dan New Zealand yang sedang bertugas di rumah sakit tersebut. Semua
tentara yang merangkap sebagai tim medis itu sama sekali tidak bisa
berbahasa Indonesia, apalagi bahasa Aceh. Selama kami bertugas di RS
tersebut aku semakin menyadari bahwa bahasa Inggris aku sudah lumayan
dan masih harus diasah agar semakin tajam dan semua orang asing bisa
mengerti apa maksudku.
Kuliah pun dimulai lagi pada Februari 2005. Walaupun aku dan
keluargaku harus mengungsi selama 10 bulan dan mengulang kembali
proposal skripsi dan yang berujung akan tamat tidak sesuai dengan
target, toh aku tetap positive thinking : semua akan ada hikmahnya. Aku
selalu yakin dan percaya bahwa Allah tidak segan-segan menolong hambanya
kapanpun dan di mana pun.
Mimpi itu hilang timbul ketika aku berada di penghujung bangku
kuliah. Aku hanya punya cita-cita membahagiakan orang tuaku dengan cara
selalu bersama dengan mereka (walaupun aku tidak suka duduk di rumah).
Nah, setelah selesai program profesi aku Alhamdulillah diterima bekerja
sebagai staff pengajar non permanen di program studi Pendidikan Dokter Fakultas
Kedokteran Universitas Syiah Kuala. Maka aku kembali ingat mimpi yang sempat hilang dari
pikiranku tersebut. Aku mulai melamar segala macam beasiswa yang aku
tahu dan yang kira-kira aku bisa memenuhi syaratnya. Berikut ini
kronologisnya:
- Beasiswa dari pemeritah UK untuk staff pengajar UNSYIAH dan IAIN Ar-Raniry Banda Aceh dengan hasil akhir: gagal
- Ford Foundation dengan hasil langsung gagal di seleksi pertama
- Fulbright tsunami relief program dengan hasil awal: gagal
- STUNED dengan hasil awal: langsung gagal
- Pemda Aceh dengan hasil akhir: gagal
Setelah berpartipasi dalam trial and error semua beasiswa di atas aku
langsung menyerah. Saat itu aku berpikir bahwa aku memang tidak bisa
mewujudkan mimpi masa kecilku itu maka aku mulai mencintai pekerjaanku.
Sampai ketika aku membongkar-bongkar berkas yang aku bawa pulang dari
pelatihan IELTS di Surabaya, aku ingat kalau aku pernah dibagikan
formulir untuk beasiswa ADS. Maka aku pun tak mau ketinggalan untuk
berpartisipasi dengan mengirimkan berkasku menjelang deadline.
And here I am in Flinders university, Adelaide, Australia. I just
wanna share this story that dreams can be achieved if you live them in
your heart and mind. It is not a big deal if you fail but the most
important thing is you still keep them alive. And we never know whose
wishing (for you) and which wishing (for you as well) that God listens
to.
So, just live your dreams and wait them to be come true ^______^
So, just live your dreams and wait them to be come true ^______^
27th January 2011
5/20 Kelvin Rd, Bedford Park, South Australia 5042
http://motivasibeasiswa.org/2013/03/10/nani-safuni/
No comments:
Post a Comment