Tuesday, September 6, 2016

MImpi Itu Sempat Hilang


Sejak kecil aku selalu punya mimpi yang paling hebat: melihat dunia luar. Beranjak masuk SMP aku semakin yakin kalau mimpi itu bisa diwijudkan dengan punya nilai-nilai bagus dan punya dukungan dari orang tua dan guru-guru. Jadi mulailah aku kembangkan mimpi itu, sampai-sampai kalau ditanya orang negeri apa yang akan aku kunjungi pertama kali maka aku akan menjawab dengan manis: Jepang dan UK. Nah aku pasti langsung kebingungan ketika ditanyakan apa alasanku untuk mengunjungi kedua negara tersebut. Aku cuma bisa bilang begini: Mau pegang salju (ga make sense bangets ya?). Dan aku pun mulai tergila-gila dengan bahasa Inggris yang awalnya sama sekali tidak aku sukai.

Masuk SMU maka aku mulai punya tujuan ke luar negeri: jalan-jalan dan belajar budaya asing. Masih belum terbayang di dalam pikiranku apakah aku bisa segera ke sana. Masalah terbesar adalah orang tuaku sangat strict untuk alasan keluar rumah kecuali untuk sekolah. Tetapi aku selalu berharap agar peraturan papaku akan segera berubah ketika aku masuk PTN. Malangnya, peraturan tersebut semakin ketat, malah aku terancam untuk ke Medan dan keliling Aceh. Sejujurnya, Banda Aceh pun aku tak tahu semua seluk-beluknya. Tetapi dengan bangga selalu menjawab dengan “aku ini orang Banda Aceh asli lho!”. Singkat cerita aku semakin yakin kalau aku yang tidak pintar ini bisa ke luar negeri dengan gampang. Aku selalu berpartipasi dalam English Club, program pertukaran pemuda (walaupun selalu gatot: gagal total) dan berlangganan majalah yang berbahasa Inggris. Aku tetap percaya diri kalau aku memang bisa (maksa bangets ya?) walaupun belum ada tanda-tanda bahwa mimpi itu akan bisa terwujud.

Bukti-bukti itu muncul tak lama setelah tsunami 2004, aku terlibat sebagai volunteer di rumah sakit pemerintah di Banda Aceh. Dengan bermodalkan beberapa pasang pakaian layak (aku jatuh miskin karena seisi rumahku dipinjam oleh tsunami) yang diberikan oleh temanku maka aku pun melangkah ke rumah sakit tersebut dengan niat menolong korban tsunami yang nasibnya jauh lebih tidak seberuntung aku. JobDes aku menerjemahkan dari English ke Indonesian dan Acehnese. Awalnya sempat kagok karena bahasa Acehku sedikit kurang gaul dibandingkan dengan pasien-pasien pasca operasi tersebut. Tetapi aku selalu berusaha memberikan yang terbaik alias pede ajah. Ketika itu teman-teman mahasiswa keperawatan Universitas Syiah Kuala  diminta tolong oleh dosen-dosen kami untuk membantu para tentara Australia, UK dan New Zealand yang sedang bertugas di rumah sakit tersebut. Semua tentara yang merangkap sebagai tim medis itu sama sekali tidak bisa berbahasa Indonesia, apalagi bahasa Aceh. Selama kami bertugas di RS tersebut aku semakin menyadari bahwa bahasa Inggris aku sudah lumayan dan masih harus diasah agar semakin tajam dan semua orang asing bisa mengerti apa maksudku.

Kuliah pun dimulai lagi pada Februari 2005. Walaupun aku dan keluargaku harus mengungsi selama 10 bulan dan mengulang kembali proposal skripsi dan yang berujung akan tamat tidak sesuai dengan target, toh aku tetap positive thinking : semua akan ada hikmahnya. Aku selalu yakin dan percaya bahwa Allah tidak segan-segan menolong hambanya kapanpun dan di mana pun.
Mimpi itu hilang timbul ketika aku berada di penghujung bangku kuliah. Aku hanya punya cita-cita membahagiakan orang tuaku dengan cara selalu bersama dengan mereka (walaupun aku tidak suka duduk di rumah). Nah, setelah selesai program profesi aku Alhamdulillah diterima bekerja sebagai staff pengajar non permanen di program studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala. Maka aku kembali ingat mimpi yang sempat hilang dari pikiranku tersebut. Aku mulai melamar segala macam beasiswa yang aku tahu dan yang kira-kira aku bisa memenuhi syaratnya. Berikut ini kronologisnya:
  1. Beasiswa dari pemeritah UK untuk staff pengajar UNSYIAH dan IAIN Ar-Raniry Banda Aceh dengan hasil akhir: gagal
  2. Ford Foundation dengan hasil  langsung gagal di seleksi pertama
  3. Fulbright tsunami relief program dengan hasil awal: gagal
  4. STUNED dengan hasil awal: langsung gagal
  5. Pemda Aceh dengan hasil akhir: gagal
Setelah berpartipasi dalam trial and error semua beasiswa di atas aku langsung menyerah. Saat itu aku berpikir bahwa aku memang tidak bisa mewujudkan mimpi masa kecilku itu maka aku mulai mencintai pekerjaanku. Sampai ketika aku membongkar-bongkar berkas yang aku bawa pulang dari pelatihan IELTS di Surabaya, aku ingat kalau aku pernah dibagikan formulir untuk beasiswa ADS. Maka aku pun tak mau ketinggalan untuk berpartisipasi dengan mengirimkan berkasku menjelang deadline.

And here I am in Flinders university, Adelaide, Australia. I just wanna share this story that dreams can be achieved if you live them in your heart and mind. It is not a big deal if you fail but the most important thing is you still keep them alive. And we never know whose wishing (for you) and which wishing (for you as well) that God listens to.

So, just live your dreams and wait them to be come true ^______^

27th January 2011
5/20 Kelvin Rd, Bedford Park, South Australia 5042




http://motivasibeasiswa.org/2013/03/10/nani-safuni/

No comments:

Post a Comment